Senin, 14 November 2011

Mainan Orang Melayu

wau

 
 
 
wau bulan di mainkan di lapang oleh orang melayu.Permainan wau bermula sejak zaman sekitar kurun ke lima belas. Wau ini mempunyai banyak jenis. Antaranya ialah, wau burung, wau pari, wau katak, wau bayan, wau merak, wau kucing dan masih ada lagi nama dan bentuk wau yang lain. permainan ini dihasil dari khraftangan

Minggu, 13 November 2011

Magis dalam Syair Ikan Terubuk

 Magis dalam Syair Ikan Terubuk

Magis dalam Syair Ikan TerubukSalah satu cerita lisan yang masih mentradisi di kalangan masyarakat Melayu Bengkalis, Riau adalah kisah ikan Terubuk. Kisah ini terabadikan dalam bentuk syair dengan 285 rangkaian bait yang lebih dikenal dengan Syair Ikan Terubuk. Rangkaian bait syair ini telah diterbitkan sekitar dua puluh versi, salah satunya ditulis oleh Ulul Azmi.

Rangkaian syair ini menceritakan perjuangan ikan Terubuk, salah satu jenis ikan yang menjadi pemimpin kerajaan laut dengan daerah kekuasaan meliputi beberapa selat, untuk mendapatkan putri nan cantik jelita bernama Puyu-Puyu dari kerajaan air tawar. Untuk mendapatkan putri Puyu-Puyu, ia pun mengerahkan bala pasukan yang dimilikinya untuk menerobos masuk ke kerajaan air tawar. Namun mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, pasukan Terubuk terjerat jaring nelayan.

Melalui buku ini, Ulul Azmi menunjukkan bahwa syair ikan Terubuk merupakan karya sastra sarat makna dan bernilai tinggi yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat Bengkalis, khususnya di laut muara sungai Siak, Riau. Di samping itu, Azmi juga menunjukkan bahwa karya sastra yang diciptakan pada abad ke-19 ini dibuat oleh seorang penyair yang memiliki pengetahuan luas mengenai kehidupan di dalam air, baik air asin maupun air tawar.

Mantra Sakti Ikan Terubuk

Dalam perkembangannya, Syair Ikan Terubuk yang menceritakan nasib ikan Terubuk dan pasukannya yang terjerat jaring para nelayan mengalami pergeseran nilai dan fungsi. Mulanya syair ini merupakan karya sastra sarat makna, kemudian beralih fungsi menjadi mantera pengundang yang mempunyai kekuatan magis. Perubahan dari sekedar karya sastra menjadi mantra berkekuatan magis menunjukkan adanya pergeseran makna dan fungsi dari Syair Ikan Terubuk.

Masyarakat Bengkalis percaya bahwa pembacaan Syair Ikan Terubuk dapat mengundang ikan Terubuk yang “dipercaya” berasal dari selat Malaka agar datang berbondong-bondong ke wilayah perairan Bengkalis untuk bertelur, beranak pinak, hingga akhirnya dapat ditangkap oleh para nelayan setempat.

Untuk menghadirkan kekuatan sakral sebagai mantra pengundang, Syair Ikan Terubuk selalu dibacakan dalam upacara mengundang ikan Terubuk. Upacara ini disebut semah laut. Pelaksanaan upacara semah laut dipandu oleh para Bathin (tetua adat) yang berasal dari Bengkalis, Senderak, Alam, dan Penebal. Dalam upacara ini, para tetua adat berperan sebagai mediator untuk memanggil ikan-ikan Terubuk.

Nuansa Penaklukan

Membaca Syair Ikan Tarubuk akan semakin menarik jika kita membacanya melalui kaca mata politik. Secara politik, rangkaian Syair Ikan Terubuk menggambarkan ambisi yang gagal dari penguasa lautan, ikan Terubuk, untuk menguasai daerah pedalaman, putri Puyu-Puyu. Jika ditarik pada konteks awal keberadaan syair tersebut, kita akan mengetahui bahwa Syair Ikan Terubuk menceritakan ambisi dari negeri pantai di wilayah Semenanjung Melayu, yang diwakili oleh Sultan Mahmud dari Melaka, untuk menaklukan negeri-negeri di daerah pedalaman, seperti Pagarruyung, Minangkabau dan negeri-negeri agraris lainnya.

Tanpa menggunakan kaca mata penaklukan dalam membaca Syair Ikan Terubuk, kita akan terperosok dalam sebuah langgam dan irama yang membosankan. Namun dengan mengaitkannya dengan upaya penaklukan pada masa itu, Syair Ikan Terubuk akan mempunyai nilai lebih terutama di tengah situasi di mana sebagian besar masyarakat selalu melihat pusat kekuasaan sebagai mimpi-mimpi yang tak teraih, bahan gunjingan, dan harapan yang selalu (disuntikkan) kepada anak-cucu agar suatu saat kelak mereka akan menjadi penglima yang memegang peranan penting dalam sebuah pusat kekuasaan.

Sebagai sebuah karya sastra, buku yang ditulis oleh Ulul Azmi cukup menarik dengan pemilihan kata yang cukup bagus sehingga tidak akan membosankan pembaca. Bahkan, semakin sering dibaca, semakin banyak pula nilai-nilai tersirat di dalamnya yang bisa dibongkar. Usaha Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bekerjasama dengan Adicita Karya Nusa dalam menerbitkan buku Syair Ikan Terubuk merupakan salah satu upaya pelestarian dan pengekalan khazanah seni budaya Melayu.

Keunikan Musik Melayu Ghazal

Keunikan Musik Melayu Ghazal

alat musik melayu ghazalMusik adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kebudayaan. Sebagai bahasa hati dan ekspresi perasaan, musik merupakan cerminan nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang mendasari dan menghidupkan kebudayaan secara menyeluruh. Boleh dikata musik merupakan salah satu elemen kesenian yang dipengaruhi tradisi budaya tertentu untuk menentukan patokan-patokan sosial dan patokan-patokan individu, mengenai apa yang disukai dan apa yang diakui oleh masyarakat di mana musik tersebut hidup.

Demikian pula dengan musik Melayu ghazal yang diurai dalam buku karya Asri, alumnus Magister Seni Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta ini. Musik yang awalnya berasal dari semenanjung Arab dan dipengaruhi oleh budaya India ini, mencerminkan pula kepribadian masyarakat di mana musik ini berasal. Irama padang pasir yang mendayu-dayu, diramu dengan tepukan tabla, alunan harmonium, gesekan biola, dan petikan gitar, menghadirkan suasana melankolis yang membuai. Masyarakat Melayu yang pada dasarnya memiliki karakter melankolis, menurut Mahyudin Al Mudra dalam pengantar buku ini, sangat sesuai dengan jenis musik ghazal ini. Ditambah dengan kekayaan pantun mereka, yang juga diadaptasi menjadi lirik lagu, membuat musik ghazal menjadi musik yang mewakili sepenuhnya jiwa dan sikap hidup masyarakat Melayu (hlm. vi).

Hingga kini, musik Melayu ghazal masih hidup di masyarakat Desa Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, dan merupakan salah satu musik tradisional yang telah lama berkembang dan menjadi ungkapan bentuk kesenian tradisional yang dapat dinikmati oleh masyarakat setempat. Sejarah dan perkembangan musik Melayu ghazal di Desa Pulau Penyengat, menurut buku ini, terbilang berhasil di saat musik kesenian daerah lain mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat.

Dalam uraiannya, Asri menjelaskan bahwa adalah seorang tokoh bernama Pak Lomak yang telah berhasil meneruskan perjuangan leluhur untuk mengenalkan musik ghazal dari Arab ke Johor Malaysia hingga ke Desa Pulau Penyengat di Kepulauan Riau. Perjuangan Pak Lomak yang gigih dan penuh tanggung jawab merupakan modal dasar yang digunakannya untuk menyebarkan musik Melayu ghazal. Selain itu, Pak Lomak juga berupaya untuk menggabungkan alat musik melayu dari negara lain dengan musik Melayu ghazal, sehingga menjadikan musik ghazal dapat mengikuti perkembangan zaman dan mendapatkan respon positif dari masyarakat Desa Pulau Penyengat.

Lebih lanjut, pertumbuhan dan perkembangan musik Melayu ghazal, menurut buku ini, berkenaan dengan tiga unsur yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Pulau Penyengat. Pertama, masyarakat merespon dengan baik adanya musik Melayu ghazal. Kedua, lintas generasi yang satu dengan generasi berikutnya tertata dengan baik, sehingga musik Melayu ghazal tetap dikenal oleh generasi selanjutnya. Ketiga, musik Melayu ghazal selalu dipublikasikan agar dapat didengarkan oleh orang banyak (hlm. 5).

Dari sini, dapat dikatakan bahwa musik Melayu ghazal tidaklah hanya apresiasi seni semata, tetapi juga memperlihatkan makna dan fungsi yang sangat mendalam bagi kehidupan masyarakat Melayu. Makna dan fungsi musik ghazal terwujud sebagai suasana pengungkapan hati, sebagai sarana hiburan, dan sebagai sarana komunikasi. Di samping itu, musik ghazal bagi masyarakat Melayu juga merupakan representasi simbolis yang mencerminkan nilai-nilai, pengaturan kondisi sosio-kultural, dan juga merupakan peneguh ritus-ritus keagamaan dan ikatan sosial.

Oleh sebab itu, tampak jelas bahwa musik Melayu ghazal mempunyai peran yang kuat dalam mengungkapkan suasana hati seseorang dan masyarakat Melayu di Desa Pulau Penyengat. Pengungkapan suasana hati itu dapat bersifat spesifik seperti halnya pada lagu yang bernuansa sosial maupun lagu-lagu percintaan yang mengungkapkan perasaan dan kepuasan diri. Apapun jenis suasana hati yang diekspresikan dalam pementasan musik Melayu ghazal, akan menggugah reaksi dari para pendengar atau penontonnya. Maksudnya, nuansa lagu yang dibawakan dalam musik ghazal disesuaikan dengan suasananya. Sebagai contoh, untuk suasana pesta pernikahan dan pesta meriah lainnya tentu sangat berbeda nuansa musiknya dengan suasana kematian atau kesedihan.

Salah satu faktor yang dianggap penting dalam menentukan reaksi suasana hati terhadap musik ghazal di kalangan masyarakat Melayu adalah tempo yang dibawakan dengan alat musik seperti syarenggi, sitar, harmonium, dan tabla. Untuk menunjukkan suasana gembira, maka dipakai tempo sedang dan tempo cepat. Sedangkan tempo lambat umumnya dipakai untuk yang berhubungan dengan suasana kesedihan dan kerinduan. Syair-syair lagu yang dibawakan kadang diadaptasi dari puisi-puisi dan pantun-pantun Melayu, sehingga peran dan jasa musik ghazal dalam perkembangan dan pelestarian puisi dan pantun Melayu tidaklah kecil. Banyaknya lagu-lagu yang diadaptasi dari puisi dan pantun tersebut menggambarkan persepsi masyarakat Melayu terhadap kebudayaannya.

Lagu-lagu dalam musik ghazal yang sering dibawakan antara lain, Soleram, Sri Mersing, Gunung Banang, Sri Tamiang, Sri Kedah, Sri Taman, Pak Ngah Balik, dan lain-lain. Lagu-lagu tersebut adalah hasil ciptaan ahli-ahli musik Melayu ghazal. Sehubungan dengan itu, dinyanyikan pula lagu-lagu yang diadaptasi dari pantun-pantun Melayu seperti pantun Embun Berderai dan Patah Hati. Kedua pantun tersebut mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat Melayu di Kepulauan Riau karena menggambarkan orang yang sedang sedih.

Di samping itu, sembari mengutip para ahli musik tradisional, Asri dalam buku yang diangkat dari tesis masternya ini, mengakui bahwa selain berfungsi sebagai hiburan, kesenian musik juga berfungsi sebagai sarana komunikasi. Lewat pelbagai nuansa musik ghazal yang dibawakan, masyarakat Melayu hendak mengkomunikasikan seluruh perasaannya secara simbolis, baik yang riang maupun yang sedih. Nuansa kesedihan, kekecewaan, dan kesepian biasanya diungkapkan dengan lirik dan bunyi lagu-lagu percintaan maupun lagu-lagu perpisahan. Selain itu, musik ghazal juga hendak mengkomunikasikan identitas Melayu sebagai etnis. Sebagai salah satu dari sekian banyak kelompok etnis di Indonesia, masyarakat Melayu yang terkenal dengan tari-tarian dan musik tradisionalnya, sangat menyadari keunikan musik mereka, baik musik ghazal maupun musik lainnya.

Dari seluruh uraian buku yang terbagi dalam enam bab ini, dapat disimpulkan bahwa musik ghazal mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat Melayu. Musik ghazal merupakan titik pangkal pengembangan budaya sekaligus merupakan simbol identitas yang unik dari masyarakat Melayu. Musik ghazal merupakan kebanggaan masyarakat Melayu di Desa Pulau Penyengat dan bahkan di kalangan masyarakat Melayu di daerah lainnya. Ia merupakan sarana yang sangat vital dalam pengungkapan tradisi masyarakat Melayu.

Keberadaan musik ghazal juga merupakan bentuk pernyataan ikatan kekeluargaan, kekerabatan, keturunan sedarah dan keturunan sesuku Melayu umumnya. Di samping itu, musik Melayu ghazal, secara tidak langsung, mengajarkan kearifan hidup manusia yang tercermin dalam sikap dan pergaulan dengan sesama (nilai sosial), maupun untuk mencapai nilai-nilai tertinggi, yakni nilai spiritual. Proses pencapaian nilai tersebut tentu saja didasari oleh sikap mendengarkan dengan penuh penghayatan, sehingga apa yang dihadirkan dari musik tradisional Melayu ini dapat menyentuh perasaan hati yang paling dalam.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, disadari atau tidak, sangat mempengaruhi musik tradisional Melayu ghazal, bahkan juga mempengaruhi hampir semua aspek kebudayaan. Sebagai contoh, hadirnya alat musik keyboard serta alat musik elektronik lainnya sangat berpengaruh besar bagi harmonium yang digunakan dalam musik ghazal. Posisi harmonium tak jarang “digeser” oleh keyboard. Selain itu, pemain musik ghazal sudah semakin langka ditemukan, karena kaum muda sudah kurang tertarik dengan alunan musik ghazal, apalagi untuk mempelajari cara memainkannya.

Melihat daya tahan musik Melayu ghazal sampai saat ini di Desa Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, kita patut berbangga memiliki musik tradisional tersebut sebagai suatu khazanah kesenian Melayu di Nusantara. Sudah tidak penting lagi dari mana asal musik Melayu ghazal, yang terpenting adalah bahwa keberadaannya di Nusantara sangat lekat dengan nama kesenian Melayu. Ya, meski musik Melayu ghazal jauh dari kata populer ternyata masih mampu bertahan, setidaknya di Desa Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Namun sampai kapan? Mengingat pelestarian dan penghargaan terhadap musik Melayu ghazal teramat minim, sepertinya puak Melayu harus membuka hati untuk segera turun tangan menyelamatkan musik Melayu ghazal dari kepunahan.

Nah, kehadiran buku karya Asri yang diterbitkan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bekerjasama dengan Penerbit Adicita ini, merupakan salah satu upaya untuk menghayati, menggali, dan mendokumentasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam musik Melayu ghazal dan kemudian coba mewariskannya kepada generasi mendatang, agar tidak hilang ditelan zaman. Dengan demikian, musik Melayu ghazal tidak hanya dikenal di kalangan Melayu saja, tapi juga di masyarakat pendukung budaya lainnya.

Pantun Nasehat Melayu

Membumikan Kembali Pantun Nasehat Melayu

Pantun nasehat melayuHampir semua suku di Nusantara mengenal seni tari, seni musik, seni kebudayaan, dan seni membangun rumah, namun seni pantun justru sering dilupakan orang. Pantun merupakan salah satu ekspresi seni lisan khas Melayu, termasuk Melayu Riau. Bagi orang Melayu, pantun sudah mendarah daging karena sejak kecil mereka sudah bergelimang dengan pantun. Mereka juga sudah sangat terbiasa mendengarkan uraian penafsirannya di berbagai kesempatan, mulai dari upacara adat, nyanyian, sampai pada pembicaraan sehari-hari. Kondisi inilah yang menyebabkan pantun selalu terangkat ke permukaan dengan berbagai gaya dan isinya sehingga masyarakat Melayu tidak sekadar arif menyimak makna yang terkandung di dalam pantun, tapi juga mampu bahkan mahir dalam berpantun.

Pantun yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Melayu ini, terutama Melayu masa silam, secara arif dijadikan media dakwah dan tunjuk ajar oleh para ulama, pemangku adat, dan cerdik pandai sebagai media penyampaian pesan-pesan moral yang sarat nilai-nilai luhur agama Islam, budaya, dan norma-norma sosial masyarakat. Biasanya penyampaiannya dilakukan dengan berbagai variasi, seperti pantun nyanyian, pantun adat, pantun kelakar, pantun nasehat, pantun berkasih sayang, bahkan pantun monto (mantera) sesuai waktu, tempat, kemampuan dan kedudukan sang penyampai pantun, serta kepada siapa pantun itu ditujukan.

Dalam kehidupan masyarakat Melayu, pantun berperan penting dalam mewujudkan pergaulan seresam karena kemahiran dalam berpantun seakan menjadi tolok ukur tingkat pergaulan dan status sosial seseorang. Artinya, semakin mahir seseorang dalam pantun-memantun, maka semakin tinggi pula tingkat pergaulan dan status sosialnya.

Di samping itu, pantun berperan pula sebagai hiburan, penyalur aspirasi, penyebaran dan penanaman nilai-nilai keagamaan, bahkan mencari jodoh. Singkat kata, pantun menembus segala aspek kehidupan masyarakat Melayu. Sebagaimana tersebut dalam ungkapan, "dengan pantun banyak yang dituntun", "pantun dipakai membaiki perangai", "melalui pantun syarak menuntun", "di dalam kelakar terdapat tunjuk ajar", "di dalam seloroh ada petaruh", "di dalam menyindir terdapat tamsil", dan juga terungkap dalam pantun-pantun berikut:

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat pakaian adat
Apa guna orang berpantun
Untuk memberi petuah amanat

Apa guna daun kayu
Untuk tempat orang berteduh
Apa guna pantun Melayu
Untuk tempat mencari suluh

Dalam berpantun biasanya para pemantun (penutur) sangat memperhatikan keserasian sampiran, keserasian antara isi dan sampiran, pemilihan kata, dan penyusunan kalimat. Artinya, tidak hanya sekadar kesamaan bunyi belaka. Dengan kata lain, pantun yang baik adalah pantun yang sampiran dan isinya mengandung arti. Sehingga, pantun semacam ini sedap didengar, mudah dipahami, tidak berbelit-belit apalagi mengada-ada, dan yang terpenting bahwa pantun itu penuh dengan kandungan isinya yang mendalam namun tetap mudah dicerna, seperti dalam pantun berikut ini:

Hari Jum‘at orang sembahyang
Menyembah Tuhan beramai-ramai
Membayar zakat janganlah bimbang
Supaya bersih harta dipakai

Bila hidup tidak beriman
Banyaklah orang fitnah memfitnah
Bila mengikuti bisikan syetan
Kebaikan hilang marwahpun punah

Meskipun pada masa silam pantun mendapat kedudukan istimewa, yaitu begitu diutamakan dan dijadikan pedoman, pegangan, dan bekal dalam kehidupan masyarakat Melayu, namun pada masa kini keadaannya justru terbalik. Sejalan dengan perubahan zaman, jumlah penutur dan pemantun semakin sedikit. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya dalam masyarakat, langkanya momentum untuk menampilkan dan menyampaikan pantun, serta semakin minimnya perhatian seluruh kalangan masyarakat, mulai dari tingkat atas sampai paling bawah. Kondisi-kondisi tersebut membuat seni Melayu ini menjadi asing di tengah masyarakatnya sendiri. Pemahaman masyarakat yang belum mendalam terhadap seni pantun dan apa manfaatnya dalam kehidupan bermasyarakat ternyata juga berpengaruh terhadap kondisi-kondisi semacam itu.

Meski demikian, belakangan ini ada secercah titik terang yang kita temukan pada usaha sebagian pejabat di Riau untuk memasukkan pantun ke dalam pidato-pidato resmi dan juga usaha sebagian masyarakat untuk memasukkan pantun dalam rangkaian upacara perkawinan adat, seperti pada saat upacara "membuka pintu" dan "membuka kipas" pengantin di pelaminan. Walaupun tahap awal ini nampaknya hanya sebatas seremonial belaka, namun setidaknya tahap ini bisa dijadikan pijakan awal untuk mengembangkan dan membumikan kembali seni budaya pantun dalam hidup dan kehidupan masyarakat Melayu. Tentu saja, perhatian dan kerjasama berbagai lapisan masyarakatlah yang akan menentukan keberadaan pantun pada masa mendatang.

Buku tulisan Tenas Effendy yang diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bekerjasama dengan Penerbit Adicita Karya Nusa ini menjelaskan hal ihwal pantun memantun, mulai dari pantun secara umum sampai pada pembagian jenis pantun. Atau dengan kata lain, tema-tema yang dibahas adalah mulai dari kandungan isi pantun, kedudukan, peran, kapan dan seperti apa penggunaannya, serta keberadaannya dalam kehidupan masyarakat Melayu masa kini dan masa silam.

Di bagian akhir buku ini, Tenas Effendy menyuguhkan 999 buah pantun pilihan yang mengandung nilai-nilai luhur agama Islam, budaya, dan norma-norma sosial masyarakat Melayu, yang disebutnya sebagai “pantun nasehat”. Bila dicermati secara seksama, contoh-contoh pantun yang termuat dalam buku ini sebenarnya lebih mendekati kepada nasehat dan petuah. Sehingga, selain memetik nasehat yang termuat di dalamnya, kita juga bisa menjadikannya sebagai rujukan dalam menyampaikan nasehat-nasehat yang dimaksud.

Apa yang disuguhkan dalam buku ini memang belumlah mencakup seluruh pantun Melayu karena apa yang disajikan barulah sebagian kecil dari ribuan bahkan jutaan pantun Melayu. Buku ini justru hanya memuat sebagian dari seluruh pantun yang ada. Hal ini dapat dimaklumi karena untuk menghimpun pantun yang dimaksud memerlukan waktu yang relatif lama serta memerlukan kajian yang lebih mendalam. Apalagi, sebagian besar pantun-pantun tersebut tersebar di berbagai pelosok bumi Melayu.

Oleh karena itu, kehadiran buku ini patut diapresiasi. Buku ini merupakan salah satu upaya konkret yang positif dalam rangka mengekalkan seni Melayu. Buku ini diharapkan mampu memicu perhatian, kesadaran, dan partisipasi aktif seluruh masyarakat Melayu pada umumnya dan masyarakat Melayu Riau pada khususnya untuk melestarikan dan membumikan kembali seni Melayu ini dalam bingkai kehidupan bermasyarakat sehari-hari.

Tunjuk Ajar Melayu

Tunjuk Ajar Melayu

Tunjuk Ajar MelayuKebudayaan Melayu sarat muatan kesusastraan, dan sastra lisan mengambil bagian terbesar setelah sastra tulis. Sastra lisan orang Melayu dikenal cukup indah dengan pilihan kata dan susunan kalimat yang elok. Ungkapan-ungkapan indah tersebut, biasanya dalam bentuk pantun, syair, gurindam, peribahasa, seloka dsb, yang sering diselipkan dalam bahasa komunikasi sehari-hari. Banyak di antara ungkapan-ungkapan indah tersebut mengandung petuah, nasehat, petunjuk dan contoh teladan, karena itu, sering digunakan sebagai media pengajaran dan pendidikan. Di kalangan orang-orang Melayu, ungkapan-ungkapan yang mengandung petuah dan nasehat disebut juga dengan tunjuk ajar.

Menurut orang tua-tua Melayu, sebagaimana disampaikan oleh Tenas Effendy, fungsi dari tunjuk ajar ini untuk membawa manusia ke jalan yang lurus dan diridhai Allah, sehingga selamat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, kedudukan tunjuk ajar menjadi sangat penting dalam kesusastraan dan tradisi Melayu. Buku Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy ini, memuat ungkapan-ungkapan yang mengandung tunjuk ajar tersebut. Tenas cukup telaten dalam mengumpulkan dan menyusun ungkapan-ungkapan tunjuk ajar yang mulai jarang digunakan oleh masyarakat Melayu tersebut menjadi satu buku. Agar lebih sistematis, tunjuk ajar yang terangkum dalam buku tersebut kemudian ia klasifikasi ke dalam beragam tema, sesuai dengan kandungan isi masing-masing ungkapan.

Tunjuk ajar yang terangkum dalam buku ini berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan, mulai dari masalah keagamaan, sosial, kekeluargaan, etika, moral hingga politik. Misalnya, pantun mengenai rasa tanggung jawab, apalah tanda batang dedap / pohonnya rindang daunnya lebat / apalah tanda orang beradap / bertanggung jawab samapi ke lahat. (h.207) Contoh lain, misalnya pantun tentang musyawarah dan mufakat, pucuk putat warnanya merah / bila dikirai terbang melayang / duduk mufakat mengandung tuah / sengketa usai dendam pun hilang. (h.262)

Pembagian secara tematik yang dilakukan Tenas dalam buku ini disesuaikan dengan isi kandungan dari setiap ungkapan. Namun, bisa saja satu ungkapan memiliki beragam kandungan isi, sesuai dengan pemahaman dan penafsiran pembaca. Misalnya ungkapan, “bila hidup tidak mufakat, di sanalah tempat tumbuhnya laknat”. Oleh Tenas, ungkapan diatas dimasukkan dalam tema persatuan dan kesatuan, gotong royong dan tenggang rasa. Namun, bila diperhatikan, sebenarnya ungkapan di atas bisa dimasukkan pula dalam tema musyawarah dan mufakat. Sebagai pembaca, mungkin kita bisa berbeda pendapat dengan Tenas dalam hal kategorisasi dan pemaknaan setiap ungkapan ini. Namun, menurut Tenas, hal ini dapat dimaklumi, bahkan penting, mengingat perkembangan penafsiran harus sejalan dengan konteks masyarakatnya, sehingga ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai luhur itu dapat dipahami dan berfungsi dengan baik. Ringkasnya, walaupun beberapa ungkapan ini bisa ditempatkan secara fleksibel dalam beberapa kategori atau tema, tetapi kandungan ajarannya yang paling dalam tetap sama: sebagai pedoman dan petunjuk bagi orang Melayu.

Pada setiap tema dan kategori, Tenas memberikan keterangan pengantar tentang adat istiadat Melayu yang berhubungan dengan tema yang disajikan, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami nilai luhur yang terkandung dalam budaya Melayu. Tampaknya, upaya tematik yang diberikan Tenas hanya untuk mempermudah pembaca dalam menelusuri kandungan atau sebagian kandungan, dari setiap ungkapan yang disajikan, terutama syair. Selebihnya, pembaca dapat menafsirkan dan memahaminya sendiri.

Meskipun buku ini cukup tebal, namun Tenas mengakui bahwa, ungkapan-ungkapan yang disajikannya secara tematik tersebut belum dapat mengungkap seluruh jenis tunjuk ajar, sebab masih banyak sekali tunjuk ajar Melayu yang belum terjamah, terutama tunjuk ajar yang berkembang dalam masyarakat perkampungan. Setidaknya, kehadiran buku ini telah memberikan kontribusi besar dalam upaya melestarikan tamadun Melayu, terutama dalam kesusastraan, di tengah ketidakpedulian generasi muda pada warisan agung leluhurnya. Dalam konteks tersebut, buku ini menjadi sangat penting, sebab, mengutip Tenas, bila orang Melayu kehilangan tunjuk ajarnya, berarti mereka telah kehilangan jati diri dan nilai-nilai luhur yang selama berabad-abad telah mampu mengangkat harkat dan martabat Melayu. Selain itu, kehadiran buku ini juga penting dalam upaya memahami seni kesusastraan Melayu.

Membaca buku setebal 688 halaman ini, kita akan terbuai dan terlena oleh indahnya ungkapan-ungkapan Melayu. Keindahan ungkapan bukan saja terletak pada pilihan kata serta kalimat yang rancak, demikian kata Mahyudin Al Mudra dalam pengantar buku ini, tetapi lebih dari itu adalah pada makna yang terkandung di dalamnya. Buku ini cukup representatif untuk memahami adat istiadat Melayu.

Permainan Tradisional Masyarakat Melayu Riau


Gasing merupakan permainan tradisional masyarakat melayu Riau yang sampai saat ini masih eksis meski pengaruh modrenisasi terus menerpa sesuai dengan perkembangan zaman. Tidak begitu diketahui kapan pertama kalinya gasing ini dimainkan, memang permainan tradisional Riau tidak hanya gasing saja namun yang paling populer adalah permainan gasing.


Secara umum gasing terbuat dari kayu keras dengan bentuk badan bulat, bulat lonjong, jantung, piring terbang (pipih), kerucut, silinder dan bentuk-bentuk lainnya yang merupakan ciri khas kedaerahan dengan ukuran bervariasi, terdiri dari bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki. Gasing dimainkan dengan tali yang cukup panjang dan digulungkan pada kayu bulat, runcing pada bagian bawah dan terdapat katup pada bagain atas. Dilempar dengan keras ke tanah sehingga gasing tersebut berputar dengan kencang. Aturan permainan gasing ini tergantung pada para pemainnya, untuk kalangan anak-anak biasanya menggunakan sistem bertahan lama putaran gasing. Namun yang biasa dilakukan oleh orang dewasa gasing akan diadu.

Saat sekarang ini kita hanya dapat melihat permainan gasing ini dalam acara-acara resmi saja, tidak seperti dahulu gasing banyak dimainkan oleh anak-anak setiap harinya. Pamor gasing sudah dikalahkan oleh permainan “Beyblade” yang juga mirip dengan gasing namun lebih simple, praktis dan tentunya lebih modern.

Salah satu faktor yang menyebabkan gasing tidak banyak dimainkan adalah sulitnya mencari bahan bakunya, kayu meranti dan kayu kulim yang biasanya digunakan untuk membuat gasing saat ini sudah hampir tidak ada karena hutan sudah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Ironis melihat kondisi seperti ini, dimana generasi penerus bangsa ini sudah tidak mengenal lagi permainan tradisional daerah mereka sendiri! Siapakah yang harusnya bertanggung jawab dengan kondisi seperti ini?

Keragaman Budaya Melayu


Tuah sakti hamba negeri esa hilang dua terbilang Patah tumbuh hilang berganti takkan melayu hilang di bumi

maimun.jpg
Budaya melayu adalah budaya yang tiada lekang di panas tiada lapuk di hujan
Merupakan bunga rampai dari sejarah panjang peradaban yang tumbuh dan berkembang di pesisir.
Ingin mengetahui kebesaran budaya melayu,


siak.jpg


johor2.jpg


msj.pyt.jpg

The Sultan Ibrahim Building in Johor Bahru which houses the State Government offices
Istana Besar and the impressive Abu Bakar Mosque which overlooks the Johor Straits. It was opened in 1900 and took 8 years to build.

Istana Siak dibangun pada 1889 saat pemerintahan Sultan ke-11, yakni oleh Sultan Assayidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syaifuddin yang diambil sumpah penobatannya pada 25 Oktober 1889.
Istana Siak memiliki luas 30 m x 15 m dengan 13 ruangan di dua lantai. Lantai dasar memiliki 8 ruangan, dan di lantai dua ada 5 ruangan. Lantai dasar digunakan untuk pertemuan pembesar kerajaan dan juga sebagai tempat menjamu para tamu kerajaan. Lantai dua untuk peristirahatan Sultan.

Istana Maimun peninggalan Kesultanan Deli yang elok ini didirikan oleh , Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah pada 1888
Istana yang dulunya menjadi pusat kerajaan Deli ini luasnya 2772 m2 berdiri menghadap ke timur. Kira-kira 100 m di depan istana berdiri Masjid Al-Maksum yang lebih dikenal dengan nama Masjid Raya Medan.
Arsitektur Istana Maimun yang terdiri dari dua lantai terbagi dalam tiga bagian, yakni bangunan induk, sayap kiri dan kanan. Pada bangunan induk terdapat ruangan tamu (Balairung) seluas 412 m2 yang juga digunakan untuk acara penobatan Sultan Deli atau acara adat lainnya. Di dalam Balairung terdapat singgasana yang didominasi warna kuning. Balairung juga dipakai pada hari-hari besar Islam sebagai tempat sultan menerima sembah sujud dari sanak familinya.